![1830 logo]()
Pendahuluan

1830 mengeksplorasi penggunaan objek sehari-hari dan budaya pop sebagai forma naratif untuk membingkai ulang sejarah Jawa yang kompleks melalui lensa pascakolonial.
Dengan menggabungkan studi budaya material dan penelitian auto-etnografi, proyek ini menyoroti peristiwa-peristiwa seputar Perang Jawa (1825-30) dan dampaknya, dimula dari penangkapan, yang penuh tipu daya, terhadap Pangeran Diponegoro pada tahu 1830. Proyek ini merekonstruksi narasi-narasi yang hilang tentang identitas Jawa dan menempatkannya kembali dalam wacana budaya global. Dikurasi oleh seniman visual Melissa Sunjaya dan sejarawan Peter Carey, kolaborasi ini melibatkan para kreator transdisipliner dan multikultural.

Melalui metodologi visual untuk “membalikkan pandangan [reverse the gaze],” proyek ini mengubah bahasa visual dari pendekatan Barat menjadi panggung untuk penceritaan Jawa. Dengan demikian, proyek ini menanggapi identitas yang terpecah melalui desain, dialog, dan imajinasi yang terbebaskan dari pandangan kolonial.
Pada awal abad ke-17, Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) mengimpor jutaan porselen biru-putih dari Tiongkok ke Eropa. Hanya segelintir orang kaya yang mampu membeli koleksi barang pecah belah yang dilukis dengan tangan ini, hasil dari keterampilan yang sangat rumit. Awalnya, barang-barang ini merupakan koleksi eksklusif. Namun, ketika rantai pasokan barang-barang ini terputus pada tahun 1644 akibat jatuhnya Dinasti Ming, para perajin keramik kota Delft mulai meniru porselen Cina. Hal ini membuat apa yang kemudian dikenal sebagai ‘Delft Blue [Biru Delft]’ lebih mudah diakses oleh masyarakat umum. Hal ini juga mempengaruhi munculnya perdagangan mewah lainnya, termasuk keramik Azulejo di Portugal dan tekstil Toile de Jouy di Prancis. Pigmen biru yang digunakan dalam kreasi ini diperoleh dari nila yang ditanam di perkebunan paksa di Jawa, India, dan Afrika. Budidaya nila ini tidak terlepas dari praktik perbudakan kolonial.
Saat ini, apropriasi budaya ‘Biru Indigo’ ini masih terlihat jelas dalam dunia mode papan atas dan produk gaya hidup modern. Selain itu, estetika keramik antik dari kota Delft membangkitkan rasa keakraban terhadap masa lalu Asia dan Afrika yang terlupakan. Litografi bersejarah dari British Library dan Rijksmuseum kami tafsirkan melalui estetika Biru Indigo. Penafsiran ini menggabungkan pendekatan Bauhaus dalam menggunakan desain geometris untuk menginterupsi dan menantang tradisi visual yang berakar pada estetika kolonial Barat. Dengan menghormati tradisi Jawa berupa batik dan tekstil tenun sebagai medium penceritaan, eksplorasi visual yang kaya dari proyek ini ditransformasikan ke dalam seni modern yang dapat dikenakan. Karya-karya ini berfungsi sebagai pemicu untuk pelestarian budaya dan perubahan
sosial. Arsip-arsip yang dibayangkan ulang ini menjadi kolase kontemporer yang menyoroti pergeseran identitas global Jawa abad ke-19. Karya ini terinspirasi sebagian dari penelitian seumur hidup Peter Carey tentang Babad Diponegoro, yang kini (2013) telah diakui sebagai naskah Memory of the World oleh UNESCO.
Project 1830 menandai peringatan dua abad Perang Jawa (1825-1830), sebuah peristiwa penting yang membentuk kembali sejarah Jawa modern. Proyek ini bertujuan untuk memberikan sudut pandang baru terhadap periode yang sering diabaikan. Di sini, proyek ini menggunakan format narasi budaya pop yang memadukan ilustrasi, fesyen lambat [slow fashion], dan teknologi realitas terkembang [extended reality]. Pengalaman lintas platform ini menjembatani artefak yang dapat dikenakan dan kajian digital melalui pameran kognitif yang terhubung dengan QR. Setiap karya adalah serigraf edisi terbatas. Didesain dengan prinsip tanpa limbah, semuanya dibuat dengan tangan melalui praktik yang adil dan etis. Hasilnya adalah perpaduan dinamis antara kerajinan tradisional dan media baru. Hal ini mengundang pengunjung untuk menjelajahi sejarah bersama melalui pengalaman indrawi yang berlapis.
Seiring dengan pengembangan penelitian ini melalui diskusi komunitas dan kolaborasi internasional, sebuah manifesto telah disusun sebagai kerangka panduan. Manifesto ini mengundang seniman, desainer, peneliti, pendidik, dan penyelenggara dari berbagai latar belakang untuk berpartisipasi bersama. Kami bertujuan untuk menjembatani tradisi dan inovasi, lokal dan global, serta pribadi dan kolektif. Maksud tujuan ini bukan hanya tentang menafsirkan ulang masa lalu, tetapi juga tentang membentuk masa depan. Proyek 1830 dimulai dari Jawa, namun pertanyaannya bersifat universal: