The Cultural Context
The Java War
by Peter CareyPada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, Pulau Jawa terseret ke dalam dua perang Eropa—Perang Revolusi Prancis(1792-1802) dan Perang Napoleon (1803-1815). Kedua perang ini bersamaan menandai konflik global pertama pada era modern.
Belanda telah membuka hubungan perdagangan dengan kepulauan di Hindia Timur pada akhir abad ke-16, dengan peta yang didapatkan secara diam-diam dari Portugis. Tertarik dengan rempah-rempah seperti cengkeh, pala, dan kayu manis dari kepulauan Maluku serta perdagangan lada yang berkembang pesat di Banten, mereka bergerak dengan kecepatan yang mencengangkan.

Pada tahun 1602, mereka mendirikan perusahaan multinasional pertama di dunia, Perusahaan Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oost-Indische Compagnie, VOC). Sejak tahun 1619, perusahaan ini berpusat di Batavia (sekarang Jakarta).
Seiring dengan pertumbuhan kekuatan perdagangan Belanda, pengaruh politik dan militer mereka menyebar sepanjang pesisir pantai utara pulau Jawa. Pada tahun 1680, pengaruh Belanda diakui dalam serangkaian perjanjian perdagangan yang memberikan VOC monopoli atas impor opium dan tekstil India, serta kendali ekspor komoditas perdagangan Jawa.
Jika kebangkitan VOC sebagai kekuatan regional merupakan kisah utama abad ke-17, maka seratus tahun berikutnya menyaksikan kemunduran dan akhirnya keruntuhan VOC. Hal ini paling jelas terlihat pada awal era 1790-an. Pada periode inilah VOC yang telah bangkrut
terseret dalam perang melawan Republik Prancis, terpaksa meminta perlindungan militer dari sekutu-sekutunya di Jawa dan Madura.4 Bagi orang Jawa, masa kekuasaan Belanda di tanah
Jawa terasa tinggal menghitung hari. Namun justru pada masa inilah—sebelum kedatangan Gubernur Jenderal baru utusan Napoleon, Marsekal Herman Willem Daendels (menjabat 1808-1811) pada awal 1808—perubahan paling signifikan terjadi di Eropa. Kombinasi antara revolusi industri dan politik di Inggris dan Prancis mengubah wajah dunia modern. Namun, perkembangan-perkembangan besar ini sepenuhnya tersembunyi dari pandangan masyarakat Jawa. Inilah tragedi Jawa modern.
Mengapa demikian? Saat perang mengubah Eropa, perang juga mengubah wilayah jajahan Eropa di seberang lautan. Selama musim dingin yang keras tahun 1794-95, pasukan Republik Prancis menyeberangi sungai Maas dan Waal yang beku dan menaklukkan Belanda. Hal ini menyebabkan kepala negara Belanda, Stadhouder Willem V, melarikan diri ke London. Dari pangkalan sementara di Istana Kew, ia mengeluarkan surat-surat yang dikenal sebagai ‘Surat-surat Kew’ (Kew Letters), yang menyerahkan seluruh koloni Belanda kepada Inggris untuk ‘diamankan’. Keputusan ini memicu pengerahan Angkatan Laut Kerajaan secara besar-besaran dan penaklukan semua pangkalan Belanda di luar Jawa.
Blokade laut terhadap pelabuhan-pelabuhan kepulauan tersebut begitu ketat sehingga hampir tidak ada kapal Belanda yang dapat mencapai Batavia. Bahkan Daendels sendiri harus berlayar dengan kapal perompak Prancis (kapal perampok dagang) untuk sebagian perjalanan ke Hindia melalui Lisbon dan Kepulauan Canary. Pada Juli 1810, aneksasi Belanda oleh Napoleon ke Kekaisaran Prancis memaksa Inggris untuk menaklukkan Jawa (Agustus-September 1811). Mereka mempertahankan Jawa hingga beberapa waktu setelah berakhirnya Perang Napoleon Pendudukan singkat ini mengubah koloni secara drastis.
Ketika Daendels tiba di Jawa pada 6 Januari 1808, ia menemukan pulau tersebut dalam keadaan terkepung. Blokade Angkatan Laut Kerajaan Inggris terhadap pelabuhan-pelabuhan Jawa begitu ketat sehingga tidak ada yang dapat bergerak di sepanjang pantai utara tanpa menarik perhatian meriam armada Inggris di Samudra Hindia. Namun, Daendels berpikir besar. Jika jalan raya pesisir secara strategis tidak mungkin dibangun, ia akan menggunakan bubuk mesiu untuk meledakkan jalur gunung baru melintasi Pegunungan Priangan, melalui Puncak Pass dan Bandung. Demikianlah proyek besar Daendels lahir, jalan pos trans-Jawa (postweg) pada tahun (1809-10): “Tidak ada gubernur yang pernah memikirkannya sebelum dia, dan saya yakin tidak ada yang berani merenungkannya setelahnya,” kata seorang perwira Belgia.
Namun, masa jabatan Daendels sebagai gubernur kolonial tidak hanya berfokus pada pembangunan jalan. Ia juga meletakkan dasar bagi sentralisasi administrasi Hindia Belanda dan Indonesia pasca-1945. Hal ini mengubah secara mendasar hubungan antara pemerintah yang berkedudukan di Batavia (setelah 1942, Jakarta) dan keraton-keraton Jawa.
Masa jabatan Daendels selama 41 bulan sebagai wali kolonial meninggalkan warisan yang abadi. Ia bukan sekadar mencoba mereformasi beberapa praktik kuno. Ia menginginkan perubahan mendasar, dari akar hingga ke pucuk. Pemerintahannya mengubah tatanan politik dan sosial di Jawa. Dalam setiap aspek hubungan antara keraton Jawa di wilayah tengah-selatan—Yogyakarta dan Surakarta—dengan Batavia, menjadi jelas bahwa Jawa telah memasuki zaman baru. Seperti sebuah peledak kedalaman (depth charge), dampak kehadiran Daendels akan terus terasa lama setelah kepergiannya pada pertengahan Mei 1811.
Ada banyak hal yang tidak direncanakan oleh sang Marsekal. Warisan busananya—terutama, warisannya berupa aturan berpakaian militer alternatif kepada keraton-keraton pribumi dan birokrasi kolonial—merupakan dampak dari pemerintahannya.
Namun, fakta bahwa seragam terus memainkan peran yang begitu penting dalam masyarakat
Jawa adalah bukti pengaruhnya yang luar biasa. Ia menjungkirbalikkan tatanan masyarakat Jawa, menawarkan cara-cara baru untuk memperoleh status. Ia mengadopsi apa yang disebut sejarawan Inggris Norman Hampson sebagai ‘nasionalisasi kehormatan’. Hal ini mencerminkan diktum Revolusi Prancis bahwa ‘bukan lagi kelahiran yang memberikan kehormatan, melainkan
pelayanan kepada negara’. Sebagai gubernur jenderal pertama yang memegang pangkat militer, ia menetapkan keputusan yang berdampak hingga masa modern. Di sini ia mencerminkan tren kontemporer di Eropa: militerisasi monarki Eropa dan kecenderungan penguasa Eropa untuk mengenakan seragam militer saat menjalankan tugas resmi.
Pada saat Jawa dikembalikan ke Belanda pada tanggal 19 Agustus 1816 untuk memperkuat the United Kingdom of the Netherlands (1815-1830), dalam menghadapi kebangkitan kembali Prancis, kegiatan perdagangan Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) telah digantikan oleh awal mula negara kolonial modern. Selama abad berikutnya, jangkauan kekuasaannya menyebar ke seluruh kepulauan Indonesia, mengurangi kekuasaan penguasa lokal dan membangun otoritas Belanda di setiap sudut Indonesia saat ini.
Seiring dengan semakin dalamnya pengaruh Barat merasuki kehidupan masyarakat Jawa biasa, peristiwa-peristiwa di Timur Tengah juga turut membentuk nasib baik penduduk lokal maupun kolonis Belanda. Abad ke-18 dan ke-19 menyaksikan peningkatan pengaruh Ottoman Turki di Hindia Timur dan jumlah pendatang Arab dari Hadramaut (sekarang Yaman Selatan) yang menetap di kepulauan tersebut. Peningkatan arus ziarah melintasi Samudra Hindia juga membuat penduduk Jawa terpapar pada peristiwa-peristiwa yang menggemparkan di Timur Tengah. Di sana, pasukan Republik Prancis secara singkat menduduki Mesir dan Suriah (1798-1801) sebelum pasukan Wahhābhī yang puritan menguasai kota-kota suci Islam (Makkah dan Madinah) (1803-1812).15 Wawasan yang diperoleh dari lalu lintas peziarah dibagikan kepada Diponegoro dan para panglima tertingginya.
Paparan terhadap institusi sipil dan militer Ottoman menjelaskan mengapa Diponegoro meniru sistem pangkat dan nama resimen yang digunakan dalam tentara Ottoman untuk formasi militernya sendiri. Oleh karena itu, pasukan pengawal elit Diponegoro, yang mengenakan sorban berwarna-warni dan membawa bendera resimen dengan ular, bulan sabit, dan kutipan dari Al-Qur’an, disusun dalam kompi dengan nama-nama seperti Bulkio, Turkio, dan Arkio, yang secara langsung meniru regu-regu Bölüki (dari bölük, yang berarti regu atau pasukan), Oturaki, dan Ardia, yang merupakan bagian dari resimen pasukan Janissary milik para sultan Ottoman.
Meskipun beberapa upaya telah dilakukan untuk menggambarkan Diponegoro sebagai seorang khalifah, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa ia memiliki minat untuk mewujudkan tujuan tersebut. Sebaliknya, tujuan agama Diponegoro dalam Perang Jawa sangat tertanam dalam sistem keyakinan Islam Sufi Jawa, yang masuk ke kepulauan Indonesia melalui pedagang Muslim dari India Barat pada akhir abad ke-12 dan awal abad ke-13.
Bentuk Islam ini hidup berdampingan secara harmonis dengan keyakinan pra-Islam dalam dunia roh yang imanen, serta sistem keagamaan Buddha Vajrayana dan Hindu yang diwarisi dari kerajaan-kerajaan besar pra-Islam di kepulauan ini, termasuk Srivijaya (abad ke-7 hingga ke-11) dan Majapahit (1293-sekitar 1527).
Kekaisaran Ottoman—meskipun kejayaannya mulai memudar—menginspirasi umat Islam dengan kekaguman terhadap satu-satunya negara Islam yang tampaknya mampu menahan kekuatan Eropa Kristen. Contoh ini memperkuat tekad para penguasa Muslim dan ulama Islam di Nusantara dalam menghadapi ekspansi imperialisme Barat. Hal ini terutama terjadi di Jawa, di mana kekuatan baru the United Kingdom of the Netherlands, yang dibentuk oleh kekuatan-kekuatan Eropa besar pada tahun 1815 setelah Perang Napoleon, hampir saja dikalahkan. Hal ini terjadi selama perjuangan lima tahun yang dikenal sebagai Perang Jawa. Dari pecahnya perang pada Juli 1825 hingga kekalahan akhir pada Maret 1830, para pemberontak Jawa melancarkan perang gerilya di wilayah luas Jawa Tengah dan Timur. Perang ini membuat lebih dari sepertiga dari enam juta penduduk mengungsi dan menewaskan 200.000 jiwa.
Tokoh utama dalam konflik ini adalah seorang pangeran dari Yogyakarta: Pangeran Diponegoro.
Didirikan oleh penguasa pertamanya yang dinamis, Mangkubumi (bertakhta 1749-92), Yogyakarta awalnya berkembang pesat. Tak lama setelah perjanjian yang membagi Jawa pada Februari 1755 antara Surakarta dan Yogyakarta, tradisi lisan menyebutkan bahwa Mangkubumi meminta pendiri Surakarta untuk memilih antara ‘tradisi’ dan ‘modernitas’—wadhah (‘wadah’) dan wiji (‘biji/esensi’)—terkait gaya budaya keraton barunya. Hal ini bertujuan agar, ketika Kerajaan Mataram terbelah, kedua bagian dapat berkembang dengan pola budaya yang jelas berbeda. Di hadapan pilihan ini, tradisi lisan menyatakan, Mangkubumi memilih yang pertama, yaitu wadhah (wadah), sehingga secara implisit memberikan kemungkinan kepada rivalnya di Surakarta untuk mengembangkan gaya keraton yang lebih “modern” melalui evolusi wiji (esensi).
Tidak ada tempat yang lebih menonjol dalam perkembangan gaya budaya yang khas ini daripada di keraton prajurit yang didirikan oleh Mangkubumi. Keterikatan orang Yogyakarta terhadap tradisi Jawa sangat mencolok. Putra sulung Diponegoro kemudian merangkum hal ini dalam tiga ungkapan singkat: kemampuan menjaga rahasia (saged simpèn), kedermawanan yang tak kenal batas (gelem mbuwang), dan keyakinan agama yang kuat (kenceng agamané).
Diponegoro—yang namanya berarti ‘cahaya negeri’—lahir pada tahun 1785. Sebagai putra sulung Sultan ketiga, Hamengku Buwono III (1812-1814), namun lahir dari istri selir. Sejak muda, Diponegoro telah menyaksikan penghinaan yang dialami keraton ayahandanya di tangan dua penguasa kolonial: Daendels dan Raffles. Pemerintahan sementara Inggris di Jawa sangat menghancurkan. Selama lima tahun kekuasaan mereka (1811-1816), Inggris menyerang tidak kurang dari empat kerajaan: Palembang, Bali-Buleleng, Bone di Sulawesi Selatan, dan Yogyakarta.
Serangan ini menyebabkan hilangnya naskah-naskah tak tergantikan—banyak di antaranya kini tersimpan di British Library.
Di antaranya terdapat manuskrip nubuat yang sangat dihormati, Serat Surya Raja, yang ditulis oleh Sultan Yogyakarta kedua pada awal abad Jawa (AJ 1700/M 1774), dan dianggap sebagai pusaka-Dalem (warisan keraton yang sakral). Aset budaya lainnya termasuk keris pusaka dengan gagang dan sarung bertatahkan batu mulia. Di antara benda-benda tersebut terdapat senjata pribadi milik para sultan Palembang dan Yogyakarta, yang kini menjadi bagian dari Royal Armoury Collection [Koleksi Senjata Kerajaan] di Windsor.
Kebrutalan serangan Inggris terhadap Yogyakarta pada 20 Juni 1812 mengguncang masyarakat pada masa itu. Paman buyut Diponegoro, Pangeran Panular (sekitar 1771/2-1826), menggambarkan dengan rincian yang mengharukan bagaimana John Deans, Sekretaris Residen yang lahir di Skotlandia, berpose dengan pedang kavaleri sambil menganiaya jasad komandan tentara Yogyakarta yang tewas, Raden Tumenggung Sumodiningrat, di dalam masjid pribadinya. Babad Jawa, yang ditulis dalam puisi macapat, biasanya dinyanyikan dalam pertemuan publik. Namun, pria dewasa kerap tak kuasa menahan tangis saat diminta menyanyikan bagian yang mengisahkan kematian tragis dan penghinaan terhadap Sumodiningrat. Kebiadaban tersebut menjadi latar belakang keputusan Diponegoro untuk melancarkan perang suci (jihad) melawan Belanda pada tahun 1825.
Tidak seperti kebanyakan bangsawan Jawa, Diponegoro menghabiskan masa kecilnya di lingkungan pedesaan. Sejak lahir, ia diadopsi oleh buyut perempuannya, janda dari pendiri Kesultanan Yogyakarta yang kharismatik, Sultan Mangkubumi. Diponegoro dibawa ke perkebunan Tegalrejo milik nenek buyutnya, yang terletak tiga mil ke arah barat laut Yogyakarta, ketika usianya baru tujuh tahun. Perempuan yang sangat taat beragama ini menjadi ibu angkat yang tegas bagi sang pangeran kecil. Ia mendidiknya untuk berbaur dengan rakyat dari berbagai lapisan, khususnya para petani dan santri (pelajar agama Islam).
Dalam babad otobiografinya yang terdiri dari 1.150 halaman folio, yang ditulis dalam pengasingannya di Manado selama sembilan bulan pada tahun 1831-1832, Diponegoro menggambarkan kehidupan sederhana yang dijalani buyutnya di antara komunitas petani di sekitar Tegalrejo.
Sebagai anggota terkemuka tarekat Sufi Shaţţārīyya di Yogyakarta, dengan empat murshid (guru) yang menghubungkannya dengan pendiri tarekat di Jawa, Syekh Abdul Muhyi (lahir 1650), perempuan saleh ini menjadi poros penyebaran ajaran mistik Shaţţārīyya di kalangan komunitas keraton pada masa muda Diponegoro.
Ratu Permaisuri memperkenalkan Diponegoro pada ajaran mistis Islam, khususnya studi tasawuf (mistik Sufi). Sang pangeran menekuni hal ini hingga akhir hayatnya. Pada titik itu, ia telah menjadi guru yang memberikan ijazah (sertifikat pencapaian mistis) kepada murid-muridnya di Benteng Rotterdam, Makassar, pada awal 1840-an.
Ia juga diajari untuk menahan penderitaan fisik yang berat, melakukan perjalanan jauh dengan berjalan kaki ke sekolah-sekolah agama lokal dan tempat-tempat yang dikaitkan dengan penjaga roh Jawa pada masa remajanya.
Teladan dari ibu angkatnya juga mempercepat pengembangan kemampuan praktisnya— termasuk kemampuannya membaca watak manusia melalui wajah (ilm al-firāsa), kecerdasan finansial, dan kemampuan untuk mengelola administrasi dengan jujur.
Seorang otodidak dan pemain catur yang ulung, pangeran mistis ini menyeimbangkan asketismenya dengan kecerdasan tajam yang bahkan mengesankan lawan-lawannya dari Belanda. Ia menggulung rokoknya menggunakan daun jagung (rokok klobot), menyukai anggur vintage dari Afrika Selatan (Constantia), dan mencintai burung-burung berkicau. Ke mana pun ia pergi, ia mencari tempat sunyi untuk meditasi, seringkali di tepi sungai atau aliran air yang deras. Menjelang akhir Perang Jawa, saat ia bersembunyi di wilayah pegunungan dekat perbatasan Jawa Barat, ia menggambarkan kebiasaannya turun ke tepi sungai untuk menyaksikan buaya berjemur di bawah matahari pagi.
Setelah wafatnya sang buyut pada Oktober 1803, Diponegoro membangun sebuah tempat pertapaan pribadi—Selorejo (‘batu kemakmuran’)—di sebelah timur laut lahan perkebunannya di Tegalrejo. Di tempat inilah ia bermeditasi di atas singgasana khusus yang terbuat dari empat arca Dhyani Buddha yang dibalik, terletak di sebuah pulau buatan yang teduh di bawah pohon beringin, dikelilingi kolam semisirkular berisi kura-kura dan ikan. Perpaduan unsur kepercayaan ini merupakan hal yang lazim di kalangan masyarakat Jawa awal abad ke-19, dan Diponegoro tidak merasa bertentangan untuk menjalankan praktik-praktik tarekat Sufi Islam di tempat pertapaan yang penuh dengan arca-arca Hindu-Buddha, yang diambil dari candi-candi di sekitar wilayah tersebut.
Pada tahun 1805, pada usia 20 tahun, Diponegoro melakukan ziarah penting ke pesisir selatan Pulau Jawa. Ziarah ini menandai masa transisi kedewasaannya sebagai seorang pria muda.
Di sana, ia bertapa di gua-gua dan situs-situs suci yang terletak dekat deburan ombak Samudra
Hindia yang menggelegar, di mana ia menerima visi-visi awal—penglihatan spiritual yang meramalkan perannya kelak sebagai seorang ‘Ratu Adil’ Jawa, seorang penguasa yang akan memulihkan keseimbangan moral dunia Jawa. Kita mengetahui kisah visi ini dari uraian rinci dalam kronik otobiografi sang pangeran. Yakin akan takdirnya untuk ‘membangun kemuliaan agama Islam di seluruh tanah Jawa [mangun luhuripun agami Islam wonten ing tanah Jawa sedaya]’, Diponegoro mulai memandang dirinya sebagai sosok pemurnian spiritual. Namun, ia bukanlah seorang reformis Islam. Sebaliknya, ia melihat dirinya sebagai penjaga tatanan lama, di mana sistem-sistem keyakinan Jawa lama seperti yang terkait dengan Ratu Kidul, dewi penguasa Laut Selatan, dan kekuatan-kekuatan spiritual lain yang melindungi para raja Jawa wilayah tengah dan selatan, dapat hidup berdampingan dengan ajaran-ajaran Islam.
Pemimpin masa depan Perang Jawa ini senantiasa dilanda pergulatan batin antara kehidupan spiritualnya sebagai seorang mistikus dan panggilan visionernya sebagai komandan politik dan militer.
Namun, saat itu adalah masa-masa yang luar biasa. Dunia masa muda Diponegoro di akhir
abad ke-18—Jawa yang tampaknya abadi dengan adat istiadat dan tradisi—telah hancur dalam ‘tsunami politik’ yang menyapu Eropa pasca-Revolusi Prancis. Tahun-tahun antara 1816 dan 1825 menjadi masa yang sangat sulit bagi kaum tani Jawa. Pemerintah Belanda yang baru dipulihkan dan kehabisan kas setelah masa pendudukan Prancis, berusaha menambal keuangannya yang rapuh dengan memperluas sistem bandar tol di pedesaan Jawa. Bandar tol ini dikelola oleh pemungut pajak Tionghoa yang baru datang dari Tiongkok Selatan tanpa menguasai bahasa Jawa maupun Melayu. Kesenjangan ini memicu ledakan kekerasan. Pada pertengahan Juli 1825, ketika tanah perkebunan Diponegoro menjadi pusat perlawanan, pedesaan Jawa pun meledak dalam kekacauan anti-Tionghoa. Sasaran kekerasan adalah komunitas Tionghoa berjumlah sekitar 25.000 jiwa yang tinggal di kawasan perkebunan tembakau dan kopi di Kedu selatan, serta pusat-pusat tenun kapas dan rami di wilayah timur Bagelen. Perkebunan kopi, pintu-pintu tol, dan kantor-kantor pajak pemerintah menjadi sasaran amukan, sementara penduduk Tionghoa melarikan diri menuju ibu kota kabupaten Magelang, dan ke kota-kota pesisir utara yang berada di bawah perlindungan Belanda.
Ini menjadi awal dari Perang Jawa, yang melibatkan masyarakat pedesaan yang tertindas. Setelah menderita kekeringan, kelaparan, dan kolera yang berkepanjangan pada tahun 1821, banyak yang mendukung harapan rakyat akan datangnya Ratu Adil.
Letusan besar Gunung Merapi pada akhir Desember 1822 dan kemunculan komet besar tahun 1825 pada tanggal 15 Juli, hanya lima hari sebelum pecahnya perang, tampaknya menegaskan harapan ini. Sementara itu, kehadiran Diponegoro yang luar biasa dalam benak penduduk desa Jawa dan anggota komunitas agama Islam dipercepat oleh perjalanannya yang sering berjalan kaki melalui pedesaan.
Pemicu perang, ketika akhirnya terjadi, adalah hal yang sepele: proyek jalan raya yang ditandai dengan sikap melecehkan secara sengaja oleh Raden Adipati Danurejo IV, patih yang bersekongkol dengan Belanda, melintasi tanah milik pangeran di Tegalrejo. Konfrontas bersenjata memicu ekspedisi militer Belanda yang membakar kediamannya, memaksa Diponegoro melarikan diri bersama 600 pengikutnya yang berkumpul di Tegalrejo dari wilayah apanase di sekitar Yogyakarta untuk melindunginya dari serangan Belanda. Mereka segera mengikuti Diponegoro ke gua meditasinya di Selarong, selatan Yogyakarta. Di sana, pangeran mengibarkan bendera pemberontakan. Hari itu adalah Kamis, 21 Juli 1825—Perang Jawa pun dimulai.
Ketika utusan Diponegoro menyebarkan berita pemberontakannya ke setiap penjuru wilayah Jawa yang berbahasa Jawa, perang menyebar dengan cepat ke wilayah yang kini menjadi provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam waktu singkat, sang pangeran menerima sekut lokal utama di markas gua Selarong, yang masing-masing menerima nama dan gelar baru dalam bahasa Arab sebagai komandan dalam perang suci atau prang sabil. Perang ini merupakan upaya yang terdesentralisasi, dikoordinasikan secara longgar oleh Diponegoro sebagai pusatnya. Pemimpin regional yang berpengaruh mengambil inisiatif di wilayah masing-masing. Di antara mereka adalah keluarga Sunan Kalijaga, seorang ulama Islam yang dihormati.
Keluarga ini berasal dari pantai utara Jawa dekat kota masjid kuno Demak, dan termasuk di antaranya Nyai Ageng Serang, komandan pasukan wanita Diponegoro paling ditakuti.
Pada malam 2/3 September, sang Nyai memotong-motong pasukan Belanda yang beranggotakan 300 orang. Hanya 50 prajurit berkuda yang berhasil melarikan diri kembali ke Semarang bersama kapten Belanda mereka. Pasukan bantu Madura yang menggunakan tombak diampuni sebagai sesama Muslim, tetapi mereka kehilangan seragam dan perlengkapan mereka. Sisanya, yang kebanyakan adalah pelaut dari kapal perang Belanda, De Javaan, ditarik keluar dari barisan dan dikuliti hidup-hidup. Adegan serupa terulang di seluruh medan perang utama, yang membentang dari Banyumas di barat hingga Ponorogo di timur.
Kota Yogyakarta sendiri terkepung ketat, dan penduduknya mengalami kelaparan parah. Sebagian besar dari mereka menyelinap keluar pada malam hari untuk bergabung dengan pasukan Pangeran Diponegoro.
Saat mereka berjuang keras untuk merebut kembali inisiatif, pihak Belanda mengalami hari-hari yang penuh kecemasan. Bantuan tak terduga datang melalui kembalinya pasukan ekspedisi Belanda di bawah komando wakil De Kock, Van Geen, yang baru saja menyelesaikan kampanye militer melawan Kesultanan Bone di Sulawesi Selatan. Kedatangan pasukan ini menyelamatkan kota Semarang, yang merupakan kota terbesar ketiga di koloni Hindia Belanda. Namun, itu belum cukup untuk membalikkan keadaan. Seluruh tahun pertama pertempuran ditandai oleh perang tarik-ulur antara pasukan Belanda dan Jawa yang kekuatannya hampi seimbang. Hampir dua tahun berlalu sebelum De Kock dan para penasihat militernya berhasi merumuskan strategi yang efektif: yaitu dengan menggabungkan penggunaan benteng medan perang sementara—yang dikenal sebagai sistem benteng (benteng stelsel)—dengan peningkatan jumlah pasukan gerak cepat, atau yang dikenal sebagai mobile columns.
Mengapa Belanda membutuhkan waktu begitu lama? Sebagian jawaban harus dicari dalam kelemahan yang mencolok dari tentara kolonial Belanda. Karena kekurangan sumber daya, perwira-perwira mereka membutuhkan waktu untuk memahami karakter perang yang mereka hadapi.
Selama dua tahun pertama, Belanda hanya mampu mengerahkan 6.000 pasukan infanteri, ditambah 1.200 pasukan bersenjata dan berkuda, untuk melawan sekitar 20.000 prajurit tangguh di bawah komando Diponegoro—pasukan yang telah teruji dalam pertempuran. Tidak ada cadangan pasukan yang siap digunakan. Meskipun sekitar 2.400 prajurit dikirim dari Belanda pada tahun 1826 untuk menggantikan yang gugur dan terluka, mereka tidak dapat segera diterjunkan karena kurangnya pengetahuan tentang medan dan tantangan iklim. Pada saat yang sama, pelatihan militer klasik bergaya Eropa yang mereka terima juga tidak mempersiapkan mereka dengan baik untuk perang kontra-gerilya yang harus mereka hadapi. Tingkat kelelahan dan kematian di kalangan pasukan yang baru datang pun sangat tinggi.
Banyak dari mereka jatuh sakit dan meninggal dunia tak lama setelah tiba di Jawa. Dari total 6.000 infanteri Eropa yang bertugas aktif di Jawa bagian tengah dan selatan antara Juli 1825 hingga April 1827, sebanyak 1.603 orang—atau 27 persen—telah mati pada akhir periode tersebut.
Jumlah pasukan Eropa yang sedikit membuat para komandan Belanda kesulitan untuk melancarkan serangan terhadap pasukan Diponegoro yang bergerak cepat. Kehadiran pasukan bantu pribumi dalam jumlah besar pun tidak banyak membantu. Selain pasukan Madura, terutama pasukan tombak Sumenep, efektivitas militer mereka diragukan.
Kecanduan opium yang semakin parah dan keengganan mereka untuk meninggalkan istri dan keluarga saat bertempur sangat mempersulit logistik barisan pasukan Belanda yang bergerak melalui wilayah yang dikuasai musuh. Hal ini mengubah pasukan yang seharusnya menjadi kekuatan tempur yang kompak berjumlah 500 orang menjadi rombongan yang berantakan dan lamban, lebih mirip konvoi barang daripada formasi militer yang gesit.
Perang ini bukanlah perang gaya Eropa yang mengandalkan pengepungan dan pertempuran terbuka, juga bukan kampanye ala Napoleon yang mengandalkan gerak cepat pasukan dan serangan di medan laga yang menentukan. Ini adalah perang gerilya—ditandai dengan penyergapan, pergerakan cepat, dan serangan tak konvensional yang dirancang untuk mengejutkan musuh.
Pasukan Jawa terbukti sangat piawai dalam perang gerilya. Mereka mampu bertahan hidup dengan logistik minimal: nasi kering, daging rusa kering (dendeng), umbi-umbian liar, serta buah-buahan hutan.
Mereka belajar menguras tenaga musuh perlahan-lahan, tanpa memberi peluang untuk bertempur secara langsung dalam formasi terbuka. Mereka juga sangat mahir memanfaatkan senjata rampasan dan menggunakannya kembali melawan Belanda. Saat pasukan Belanda dan sekutu lokalnya menghancurkan markas gua Diponegoro di selatan Yogyakarta pada 10 Oktober 1825, sang pangeran telah lebih dulu merencanakan langkah selanjutnya: menyeberangi Sungai Progo ke markas barunya di Dekso (4 November 1825 – 4 Agustus 1826) dan membagi pasukannya menjadi tiga unit tempur bergerak cepat. Dua di antaranya dikirim ke utara dan tenggara ibu kota kesultanan, sementara satu kelompok lainnya digerakkan ke barat menuju wilayah timur Bagelen.
Sepanjang musim hujan dari November 1825 hingga April 1826, pasukan-pasukan ini terus bergerak dengan bebas di pedesaan Jawa, dan ketika hujan mereda pada April 1826, 800 pasukan pangeran mulai berlindung di reruntuhan keraton abad ke-17 di Plered di selatan Yogyakarta. Pada tanggal 9 Juni, Kolonel Cochius, perwira insinyur tertinggi De Kock, harus mengerahkan pasukan sebanyak 4.200 orang untuk mengusir para pertahanan dalam pertempuran berdarah yang menewaskan hampir seluruh pasukan Diponegoro— hanya 40 dari 400 orang yang selamat.
Tak gentar oleh kekalahan ini, pada bulan berikutnya (Juli 1826), pasukan Diponegoro yang dipimpin oleh putra angkatnya yang berusia 17 tahun, Sentot, yang bergelar Ali Basah (Pasha [panglima] tertinggi), mulai meraih serangkaian kemenangan yang membawa mereka dari tepi barat Sungai Progo hingga ke pinggiran Surakarta. Dalam waktu singkat, kemenangan di Kasuran (28 Juli), Lengkong Wetan (30 Juli), di mana para bangsawan terkemuka Yogyakarta tewas, Bantul (4 Agustus), Kejiwan (9 Agustus), dan Delanggu (28 Agustus), membawa sebagian besar wilayah inti Jawa tengah selatan berada di bawah kendali Diponegoro. Van Geen, perwira Belanda, menggambarkan bagaimana dalam beberapa pertempuran tersebut, pasukan Diponegoro menyerbu garis pertahanan Belanda dalam kondisi nyaris seperti kesurupan, disertai jeritan menggetarkan dan kepala tertunduk menyerbu ke depan.
Dalam keputusasaan, Belanda mulai menarik pasukan dari garnisun-garnisun mereka di luar Jawa, dan mengerahkan tentara baru yang baru tiba dari Eropa. Posisi Belanda tampak nyaris tanpa harapan. Hanya perselisihan antara Diponegoro dan penasihat agama utamanya, Kiai Mojo, mengenai taktik di wilayah yang dikuasai Surakarta—yang diinginkan Kiai Mojo—yang memungkinkan mereka mengumpulkan pasukan cukup untuk meraih kemenangan atas pangeran di Gawok, sebelah barat Surakarta, pada 15 Oktober 1826.
Bahkan setelah itu, pasukan Diponegoro tetap berada di sebagian besar wilayah inti kedua kerajaan Jawa Tengah Selatan selama sebagian besar tahun berikutnya.
Pada akhir 1827, front baru terbuka di Rembang di pesisir utara dan Bojonegoro di Jawa Timur ketika ipar Diponegoro, Raden Ario Sosrodilogo, memimpin pemberontakan, dengan banyak prajurit wanita, termasuk komandan perempuan paling ditakuti sang pangeran di Jawa Timur, Raden Ayu Yudokusumo, yang bergabung dalam barisan perangnya. Selama beberapa minggu yang penuh ketegangan antara awal Desember 1827 dan pertengahan Januari 1828, komunikasi darat pemerintah antara Semarang dan Surabaya terputus.
De Kock terpaksa membatalkan rencananya untuk kembali ke Belanda dan menyerahkan komando sementara pasukan kepada Van Geen—sebuah keputusan yang menguntungkan mengingat kebrutalan Van Geen yang membangkitkan kebencian luas. Taktik bumi hangus, eksekusi kilat terhadap tahanan, serta kekejaman tanpa pandang bulu terhadap penduduk sipil menjadi ciri khas kepemimpinannya. Ini termasuk mengubur para tersangka hingga sebatas
leher di dalam tanah agar dimakan semut dan serangga lainnya—sebuah tindakan teror yang membekas dalam ingatan rakyat.
Menjelang akhir tahun 1828, gelombang perang mulai berbalik melawan sang pangeran.
Pada pertengahan November 1828, Kiai Mojo membiarkan dirinya ditangkap bersama 500 pasukan elit di lereng Gunung Merapi, dan pangeran, bersama sisa pasukan secara bertahap terdesak ke wilayah yang semakin sempit di antara Sungai Progo dan Bogowonto.
Di wilayah ini, Belanda melancarkan ‘medan pembantaian’, strategi mereka untuk mendirikan benteng medan perang sementara guna melindungi desa-desa yang baru saja ‘ditaklukkan’ oleh pasukan mereka, yang memutus pasokan vital bagi Diponegoro dan para komandannya.
Akibat yang tak terhindarkan dari perkembangan ini adalah bahwa pada akhir September 1829, tahun keempat perang, perlawanan terorganisir terhadap Belanda di dataran Jawa tengah selatan telah berakhir. Ikatan kepercayaan dan kerja sama antara pasukan Diponegoro dan rakyat lokal telah terputus. Tanpa dukungan rakyat, perang gerilya tidak lagi dapat dilanjutkan secara efektif.
Periode yang sama juga menandai titik terendah dalam nasib pribadi Diponegoro. Pada 21 September 1829, salah satu komandan senior terakhirnya, Pangeran Ngabehi, yang berdarah campuran Tionghoa, tewas bersama dua putranya dalam penyergapan mendadak.
Tak lama kemudian, pada 11 November 1829, setelah nyaris tertangkap oleh barisan pasukan gerak cepat Belanda—di mana ia harus melompat ke jurang dan bersembunyi di bawah ilalang untuk lolos—Diponegoro memutuskan untuk mengasingkan diri dan mengembara ke hutan- hutan lebat di wilayah Bagelen barat. Dalam pengembaraan ini, ia hanya ditemani oleh dua abdi kepercayaannya: seorang kurcaci bernama Banthengwareng (‘gudel’), dan seorang remaja bernama Joyosuroto (‘Roto’). Pengembaraan ini berlangsung hingga pertengahan Februari 1830, ketika Diponegoro memulai negosiasi langsung pertama dengan pihak Belanda, yang kemudian mengarah pada ‘konferensi perdamaian’ yang gagal di Magelang (8-28 Maret 1830), penangkapannya (28 Maret), pengasingan selama 25 tahun ke Sulawesi (12 Juni 1830–8 Januari 1855), dan wafatnya (8 Januari 1855).
Apa makna Perang Jawa?
Perang ini dapat dilihat sebagai perlawanan terakhir dari tatanan lama Jawa, menandai transisi akhir menuju era kolonial tinggi Negara Hindia Belanda (1816-1942). Alasan utama orang-orang bergabung dengan Diponegoro dapat dirangkum dalam tiga kata: “Saya ingin dihormati”—hormat terhadap agama (Islam), bahasa (Jawa), budaya, pakaian, makanan, dan cara hidup. Keinginan akan penghormatan ini terlihat paling jelas dalam perlakuan Diponegoro terhadap tawanan Belanda: ia bersikeras agar mereka berbicara dalam bahasa Jawa Tinggi (krama) kepada penawan mereka, bukan Bahasa Melayu Pasar, bahasa pengantar negara kolonial baru, berpakaian Jawa bukan pakaian Eropa, dan mempertimbangkan untuk memeluk Islam. Hal terakhir ini juga diharapkan oleh pangeran dari orang-orang Tionghoa yang memihak padanya: proses ‘menjadi Muslim’ cukup sederhana: yaitu memotong rambut kuncir, menjalani sunat, dan mengucapkan ikrar iman (syahadat) “Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya”.
Semangat ini, yang menggerakkan para pengikut Diponegoro, digambarkan oleh seorang pejabat Belanda senior sebagai ‘perasaan kebangsaan [Jawa]’.
Hal ini memicu peringatan dari Jean-Chrétien Baud, yang kelak menjadi Gubernur Jenderal dan Menteri Urusan Koloni, bahwa suatu hari nanti rakyat Jawa akan menyadari bahwa ‘mereka telah mengalami ketidakadilan besar karena tidak diperlakukan setara dengan orang Eropa. Ia menegaskan: “Tapi kitalah penguasa, mereka adalah yang dikuasai!”’
It was precisely this relationship with the Dutch as rulers and the Javaneseas ruled, which Diponegoro set out to overturn.
Jika mereka memilih dua opsi pertama, ada syarat-syarat tertentu: perdagangan hanya boleh dilakukan berdasarkan prinsip timbal balik; Belanda diharapkan membayar harga internasional untuk produk Jawa dan menyewa lokasi perkotaan sesuai dengan tarif yang berlaku. Mereka tidak diperbolehkan membeli murah dan menjual mahal di bawah status kolonial mereka yang istimewa. Ketegasan Diponegoro dalam menuntut pembayaran harga pasar untuk produk Jawa dan kontrak sewa tanah terbukti visioner.
Jika mereka memilih dua opsi pertama, ada syarat-syarat tertentu: perdagangan hanya boleh dilakukan berdasarkan prinsip timbal balik; Belanda diharapkan membayar harga internasional untuk produk Jawa dan menyewa lokasi perkotaan sesuai dengan tarif yang berlaku. Mereka tidak diperbolehkan membeli murah dan menjual mahal di bawah status kolonial mereka yang istimewa. Ketegasan Diponegoro dalam menuntut pembayaran harga pasar untuk produk Jawa dan kontrak sewa tanah terbukti visioner.
Sistem Pertanian Pasca Perang Jawa (1830- 1870) menghasilkan pendapatan sebesar 832 juta gulden Belanda (sekitar US$100 miliar atau US$11 triliun dalam daya beli setara) dari penjualan komoditas uang Jawa, termasuk gula, tembakau, nila, dan kopi.
Status Diponegoro di mata para pendukungnya sangat ditinggikan oleh karakter ‘perang suci’ (jihad) dalam perjuangannya. Dalam hampir setiap pertempuran, kelompok-kelompok ulama atau cendekiawan agama, yang mengenakan jubah putih atau hijau dan sorban khas, turut menguatkan semangat juang pasukan Diponegoro dengan melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an secara berulang-ulang dan penuh semangat. Baik laki-laki maupun perempuan yang bergabun dengan barisan Diponegoro mencukur kepala mereka sebagai bentuk peniruan terhadap praktik cukur Nabi Muhammad (paras Nabi). Semua mengenakan pakaian bernuansa keulamaan, dan memasuki medan perang sambil melantunkan dzikir Sufi (frasa-frasa pendek dari Al-Qur’an yang diulang-ulang sebagai bentuk ingatan dan penghadiran Allah).
Persis aspek keagamaan inilah yang membuat Menteri Kolonial Belanda, Cornelis Elout, menolak usulan agar pertempuran dihentikan dengan mengakui Diponegoro sebagai pangeran merdeka. Solusi semacam itu mensyaratkan Diponegoro diakui sebagai pelindung dan pengatur agama. Namun, hal ini mengancam dasar-dasar kekuasaan Kristen Eropa di Jawa
menurut pandangan Elout. Faktor keagamaan inilah yang membedakannya dari perebutan kekuasaan dinasti pada abad-abad sebelumnya.
Perang tersebut menelan korban jiwa 200.000 orang Jawa dan merusak mata pencaharian dua juta orang lainnya, sepertiga dari populasi Jawa pada saat itu.
Belanda juga menderita kerugian. Kemenangan mereka akhirnya menelan biaya 15.000 tentara (8.000 di antaranya adalah orang Eropa) dan membuat kas kolonial mereka bangkrut. Hal ini memaksa pemerintah Belanda yang menang untuk bertindak segera. Pemerintah pascaperang di bawah Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch menerapkan sistem yang dikenal sebagai ‘Sistem Tanam Paksa’. Sistem ini mewajibkan desa-desa Jawa untuk menyisihkan sebagian tanah mereka untuk menanam tanaman ekspor, terutama kopi, gula, dan indigo, yang dijual dengan harga tetap kepada pemerintah kolonial sebagai cara untuk memenuhi kewajiban pajak tanah mereka. Dalam waktu 40 tahun, Belanda mengumpulkan 832 juta gulden, setara dengan US$100 miliar dalam nilai uang saat ini, lebih dari 40 kali lipat biaya perang. Sebelum sistem ini berakhir pada 1870, hampir sepertiga pendapatan negara Belanda berasal dari Jawa. Hal ini memudahkan transisi Belanda ke ekonomi industri modern. Negara tersebut dapat melunasi sebagian besar utang negara, membiayai infrastruktur modern (kanal kapal dan rel kereta api), serta memperkuat perbatasan selatannya untuk menghadapi serangan Prancis di waktu mendatang. Tidak sepeserpun dari jumlah tersebut dikembalikan ke Jawa dalam bentuk kesejahteraan sosial (kesehatan dan pendidikan). Hubungan eksploitatif inilah yang menginspirasi novel terkenal karya Multatuli (Eduard Douwes Dekker), berjudul Max Havelaar (1860). Ia mendedikasikan novel tersebut kepada Raja Belanda, Willem III, [‘si pencuri berkuda’] yang memerintah ‘negara perampok di Laut Utara’.
Lalu bagaimana dengan Diponegoro? Ia ditangkap oleh Belanda dalam sebuah ‘konferensi perdamaian’ di Wisma Residen Magelang pada 28 Maret 1830, hanya tiga hari setelah hari raya terbesar dalam kalender Jawa-Islam—Hari Raya Idul Fitri di penghujung bulan Ramadhan. Peristiwa tersebut—dan perlawanan Diponegoro dalam penangkapan tersebut—diabadikan sekitar 27 tahun kemudian oleh pelukis Indonesia Raden Saleh dalam lukisan bersejarahnya tahun 1857 ‘Penangkapan Pangeran Diponegoro’.76 Sang pangeran akan menghabiskan 24 tahun sisa hidupnya dalam pengasingan di Sulawesi—pertama di Manado (1830-33) dan kemudian di Makassar (1833-55)—di mana ia wafat karena sebab alamiah pada tanggal 8 Januari 1855. Selama masa pengasingannya, ia menulis otobiografinya, Babad Diponegoro (Kronik Diponegoro), yang diakui pada bulan Juni 2013 oleh UNESCO sebagai warisan manuskrip Memori Dunia [Memory of the World].
Menceritakan sejarah kuno Jawa dan riwayat hidupnya hingga kedatangannya di Manado
pada Juni 1830, ia menulis kroniknya sebagian untuk pendidikan ketujuh anaknya yang lahir
dalam pengasingan, yang ia inginkan untuk dibesarkan sebagai orang Jawa, bukan Makassar
atau Bugis. Ia juga menggambar diagram mistis (daérah), mengajarkan praktik-praktik mistis Islam kepada sekelompok pelayan lokal terpilih dan anak-anaknya yang lahir di pengasingan, serta mencatat praktik-praktik Islamnya, yang menunjukkan kecenderungannya yang kuat terhadap aliran Sufi.
Diponegoro, yang diasingkan, dikunjungi di Makassar pada Maret 1837 oleh Pangeran Hendrik ‘De Zeevaarder [Sang Pelaut]’, putra bungsu dari calon Raja Belanda, Willem II. Pada usia 51 tahun, Diponegoro digambarkan masih ‘penuh api semangat’.
Namanya tetap abadi: banyak pemberontakan anti-kolonial mengangkatnya sebagai pemimpin spiritual ‘di pengasingan’, menjadikannya sebagai pembebas Jawa, pandangan yang mengabaikan sifat teokratis yang kuat dari tujuan perang Diponegoro. Di Yogyakarta, sosok Diponegoro masih sangat dihormati di kalangan penduduk setempat.
Pada tahun 1831, seorang pengembara Jawa, bernama Joyoseno, mengumpulkan pendukung
dengan menyatakan bahwa Diponegoro telah kembali ke Jawa. Pada tahun yang sama, dua pengikut lainnya mengumpulkan banyak pendukung dengan mengumumkan bahwa Diponegoro telah kembali ke gua Sekembang di distrik Kutoarjo, Bagelen Barat.
Seruan proto-nasionalis yang kuat dari gerakan-gerakan ini dan hubungannya dengan
Diponegoro membuat otoritas Belanda waspada terhadap keluarga Diponegoro di Yogyakarta. Mereka akhirnya mengasingkan tiga putra Diponegoro ke Ambon pada tahun 1840. Langkah-langkah lebih lanjut diambil terhadap kerabat Diponegoro ketika sebuah rencana yang diduga digagalkan pada tahun 1849 untuk membawa Diponegoro kembali dari Makassar dan mendeklarasikannya sebagai sultan.
Begitulah gambaran singkat tentang dampak langsung Perang Jawa. Bagaimana dengan
warisan Pangeran Diponegoro dalam periode modern Gerakan Nasional?
Ketika gerakan ini mulai terorganisir pada awal abad ke-20—didorong, sebagian, oleh bangsa pribumi yang belajar di Belanda—nama Diponegoro dihidupkan kembali sebagai inspirasi di seluruh spektrum politik Indonesia. Hal ini mencakup kaum komunis, yang menghargai
perhatian sang pangeran terhadap rakyat jelata (wong cilik), kaum nasionalis yang menyukai
pembelaan Diponegoro terhadap nilai-nilai budaya dan bahasa Jawa, dan kaum Muslim
dari organisasi Sarekat Islam yang mengagumi komitmen pemimpin Perang Jawa tersebut terhadap Islam. Penyair seperti Chairil Anwar dan penyair-politisi seperti Muhammad Yamin, penulis biografi pertama sang pangeran (Juni 1945), juga mengorbitnya sebagai ikon sastra, citranya muncul di papan iklan pro-kemerdekaan bersama Marx dan salah satu pendiri Partai Hindia pro-kemerdekaan pra- Perang Dunia I (1913), keponakan Multatuli, E.F.E. Douwes Dekker. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan kemenangan mereka dalam perang kemerdekaan yang diperjuangkan dengan keras (1945-49), Diponegoro akhirnya diakui sebagai pahlawan nasional (10 November 1973), wajahnya menghiasi uang kertas pasca-kemerdekaan.
Dengan demikian, lebih dari satu abad setelah kematiannya, sang pangeran akhirnya
menang atas musuh-musuh Belandanya, seorang pahlawan di negara yang belum pernah ditemukan di masa hidupnya.
Namun, seberapa akurat ingatan atas Diponegoro ini? Dia bukanlah teladan dan tidak pernah
berpura-pura menjadi teladan. Dia dengan jujur mengakui dalam otobiografinya bahwa dia memiliki mata yang suka melirik dan kecanduan sirih, yang dikunyah pangeran secara terus-menerus, bahkan menceritakan waktu yang dibutuhkan untuk mengunyah campuran sirih, buah pinang, dan kapur barus yang pahit untuk mengetahui waktu, hingga mulutnya menjadi merah menyala. Meskipun beberapa teman dekat dan anggota keluarganya berdarah Tionghoa, dia terbawa arus sentimen anti-Tionghoa di awal perang. Dia bahkan melarang komandan-komandannya untuk menjalin hubungan intim dengan wanita peranakan Tionghoa, menyalahkan kekalahannya di Gawok pada Oktober 1826 pada hubungannya dengan seorang tawanan perang Tionghoa muda yang bertindak sebagai tukang pijatnya pada malam sebelum pertempuran.
Barangkali yang paling penting, integritas pribadinya yang tinggi dalam hal keuangan, hidup hemat, dan kebenciannya terhadap korupsi membuat kehadirannya tidak nyaman bagi mereka yang tidak selaras dengan nilai-nilai tersebut di kalangan elite Indonesia masa kini.
Semua potret sang pangeran telah disingkirkan, misalnya, dari istana Yogyakarta dan namanya telah dilarang dari daftar gelar yang diterima untuk pangeran senior di Yogya dan Surakarta, mengingat serangannya terhadap keraton dan pengkhianatan terhadap tugasnya sebagai wali
kerajaan bagi sultan kelima yang masih bayi. Bahkan di bekas kekuatan kolonial, Belanda, ada sensitivitas. Adapun sketsa atas Diponegoro, ciptaan seorang seniman, Adrianus Johannes (Jan) Bik—yang juga menjabat sebagai pengawal Diponegoro ketika menjadi tahanan politik di Batavia, pada bulan April 1830 (pasca-1942, Jakarta). Sketsa karya Bik ini yang sangat
indah ini sekarang disimpan di Rijksmuseum itu, namun tidak pernah ditampilkan sebagai
pameran tetap. Menampilkan karya ini dipandang sebagai ‘pernyataan politik’ dan pengungkitan
terhadap kolonialisme Belanda. Jadi, bahkan setelah meninggal, sang pangeran tetap menjadi tokoh yang kontroversial. Namun, bagi orang Indonesia biasa yang mengingat kesederhanaan dan pengorbanannya, ia tetap sangat dihormati.
Peter Carey
Historian.