Bab II.
Babad Diponegoro


Kapal perang/korvet Belanda bertiang tiga Pollux mengangkut Pangeran Diponegoro ke pengasingan di Manado pada bulan Mei-Juni 1830. Kurang dari setahun kemudian, di balik tembok Benteng Nieuw Amsterdam di ibu kota Sulawesi Utara, sang pangeran mulai menggubah mahakarya sastranya, Babad Diponegoro.

Kapal perang/korvet Belanda bertiang tiga Pollux mengangkut Pangeran Diponegoro ke pengasingan di Manado.

Babad Diponegoro adalah salah satu autobiografi Jawa tertua dan menjadi tonggak penting dalam sastra Indonesia. Meskipun telah diakui oleh UNESCO sebagai manuskrip Memory of the World pada tahun 2013, namun naskah ini masih kurang dikenal oleh masyarakat di luar kalangan akademis. Edisi yang mudah diakses dan terjemahan yang akurat masih langka. Proyek 1830 mengambil pendekatan interdisipliner untuk membingkai ulang mahakarya ini, menghadirkan visi Diponegoro ke dalam karya-karya kontemporer dan kehidupan sehari-hari. "Kearifan seorang manusia sederhana" yang ia wariskan menunjukkan jalan menuju keaslian dan kebebasan dari pengaruh kolonial.

—Melissa Sunjaya

Membaca Babad Diponegoro dalam bahasa Jawa asli terasa seolah duduk berhadapan langsung dengan sang Pangeran. Kata-katanya seakan membawa kita ke kursi ruang Residen di Magelang pada Minggu penuh takdir itu, 28 Maret 1830, saat De Kock memberitahunya bahwa ia tidak akan kembali ke perkemahannya di Meteseh. Pertemuan-pertemuan yang begitu hidup ini mengungkap kekayaan dari autobiografi luar biasa tersebut. Diakui UNESCO sebagai Memory of the World, karya ini pantas mendapatkan edisi kritis dwibahasa yang dapat diakses oleh seluruh masyarakat Indonesia.

—Peter Carey


Isi dan Gaya Bahasa Babad


Babad Diponegoro merupakan autobiografi sekaligus kronik. Ditulis dalam syair macapat Jawa dan didiktekan kepada seorang juru tulis (yang sampai sekarang tidak diketahui) selama sembilan bulan antara Mei 1831 hingga Februari 1832, karya ini mengisahkan sejarah Jawa sejak jatuhnya Majapahit hingga masa hidup Diponegoro sendiri dan kepemimpinannya dalam Perang Jawa. Pupuh-pupuh pertama menceritakan kembali berabad-abad sejarah jawa, memberikan konteks bagi perpecahan dan campur tangan kolonial yang membentuk dunia Diponegoro. Bagian-bagian selanjutnya jauh lebih personal, menelusuri masa kecilnya di luar Yogyakarta, perjalanan spiritualnya, serta renungan tentang keadilan, moralitas, dan kepemimpinan.

Gaya bahasa Sang Pangeran begitu khas. Alih-alih memakai nada dingin khas kronik resmi, ia justru menggunakan suara yang akrab, diselingi humor, sarkasme, dan pengamatan tajam. Ia menggambarkan keunikan manusia dengan jenaka—misalnya kisah tentang seorang janda sekaligus dukun yang merawatnya saat demam—atau menuturkan pertemuan menegangkan dengan panglima tertinggi Belanda dengan perpaduan ironi dan pengendalian diri. Cerita-ceritanya begitu mendalam, membuat pembaca seolah sedang duduk berhadapan dengannya, mendengar langsung tutur katanya. Keintiman inilah yang menjadikan Babad istimewa: ia bukan hanya karya sastra, melainkan juga kesaksian hidup, dirangkai dengan irama puitis namun tetap berpijak pada detail keseharian.


Tujuan Penulisan


Tujuan awal Diponegoro sangat jelas: ia ingin meninggalkan catatan bagi keluarganya, terutama anak-anaknya yang lahir di pengasingan, agar mereka tumbuh dengan pengetahuan tentang warisan Jawa mereka. Babad itu adalah hadiah lintas generasi, sebuah cara untuk menjaga nilai, keyakinan, dan pelajaran hidup di tengah keterasingan dan terkikisnya budaya.

Pada saat yang sama, Babad juga merupakan sebuah tindakan politik. Dengan menuturkan versinya sendiri tentang peristiwa, Diponegoro merebut kembali otoritas untuk menafsirkan perjuangannya, alih-alih menyerahkannya kepada sejarawan resmi Belanda atau penulis kronik istana yang bergantung pada kekuasaan kolonial. Dalam arti ini, Babad adalah sebuah pernyataan tentang proses dekolonisasi, jauh sebelum istilah itu dikenal.

Merenungkan tujuannya membuka ruang perbandingan dengan kehidupan kita hari ini di bawah kapitalisme global. Sebagaimana Diponegoro melawan narasi yang dipaksakan oleh penjajah, individu-individu saat ini berjuang melawan tekanan homogenisasi konsumerisme dan eksploitasi ekonomi. Banyak orang hidup dalam sistem yang lebih mengutamakan produktivitas dibanding martabat, dan keuntungan dibanding budaya. Babad mengajak pembacanya bertanya: bagaimana kita bisa menjaga integritas, identitas budaya, dan nilai kepedulian ketika hidup dalam belenggu tekanan eksternal yang begitu besar? Dapat dikatakan bahwa Diponegoro adalah seorang ahli ekologi awal–sebelum istilahnya terkenal–yang sangat sadar akan alam tempat ia tumbuh.




Relevansi untuk Masa Kini


Babad Diponegoro lebih dari sekadar dokumen sejarah; namun dapat menjadi kerangka untuk merefleksikan Indonesia kontemporer. Penekanannya pada kepemimpinan moral, toleransi sosial, dan tata kelola yang adil selaras dengan perjuangan kita hari ini melawan korupsi, ketidaksetaraan, dan ketidakadilan ekonomi.

Dalam hal identitas, Babad menghubungkan kembali pembaca dengan tradisi pra-kolonial yang sebagian besar tersamarkan oleh budaya hibrida di kemudian hari. Babad menegaskan bahwa identitas Indonesia bukan semata-mata warisan kolonial, melainkan berakar pada nilai-nilai pribumi yang jauh lebih dalam. Secara sosial, Babad menyajikan visi hubungan antarmanusia yang dilandasi empati, kedalaman spiritual, penghormatan terhadap keberagaman, dan transendensi. Secara politik, Babad mengedepankan integritas dan kepemimpinan yang bertanggung jawab. Secara ekonomi, Babad mengingatkan kita pada kegigihan Diponegoro dalam perdagangan yang adil, menolak eksploitasi, dan menuntut keadilan. Secara spiritual, Babad menggarisbawahi nilai luhur dalam diri kita.

Bagi generasi muda, Babad menawarkan pelajaran tentang ketangguhan, keaslian, dan kebanggaan terhadap warisan budaya. Ia memperlihatkan sebuah cara hidup yang berakar pada kearifan lokal dan nilai pluralisme, sehingga membebaskan kita dari kompleks inferioritas kolonial. Membacanya hari ini dapat membantu masyarakat Indonesia membayangkan masa depan yang tidak hanya dibentuk oleh kapitalisme global, tetapi juga oleh nilai-nilai leluhur tentang keadilan dan kepedulian.


Kepribadian yang Tertulis


Kepribadian Diponegoro terpancar begitu jelas melalui tulisannya. Ia adalah sosok yang disiplin namun penuh humor, sangat spiritual namun tetap praktis. Nada tulisannya berganti-ganti antara kritik tajam terhadap ketidakadilan dan renungan jenaka tentang kelemahan manusia. Cara penulisan tangan yang ia pelajari sendiri, dibalut dalam bentuk puitis tembang macapat, menegaskan kepribadian yang menghargai kedisiplinan sekaligus kreativitas.

Kerendahan hati Sang Pangeran tampak dalam momen-momen ketika ia mengakui kegagalan atau merenungkan nasibnya sendiri. Namun, kewibawaannya tidak pernah goyah. Ia memilih untuk tidak mengakhiri hidupnya dengan kekerasan kacau ketika ditangkap, karena ia beralasan bahwa generasi setelahnya akan lebih menghormatinya atas pengendalian diri daripada perlawanan yang gegabah. Cara berpikir seperti ini menunjukkan sosok pemimpin yang tidak hanya memikirkan kehormatannya sendiri, tetapi juga reputasi jangka panjangnya di mata keabadian. Dengan demikian, Babad adalah potret sebuah karakter: seorang manusia yang mampu menyeimbangkan keberanian dengan refleksi, ketegasan dengan humor, keyakinan dengan welas asih.




Narasi Diri di Zaman Digital


Babad Diponegoro dapat dipandang sebagai bentuk awal ego document—sebuah autobiografi yang dibentuk oleh suara, nilai, dan konteks penulisnya. Dalam pengertian ini, karya tersebut mengundang perbandingan dengan cara orang masa kini menggunakan media sosial untuk menyiarkan kehidupan mereka secara daring. Keduanya sama-sama menjadi sarana presentasi diri, cara untuk membentuk bagaimana seseorang diingat dan dipersepsikan.
Ada satu perbedaan mendasar. Media sosial seringkali memecah-belah identitas, menampilkan cuplikan-cuplikan hidup yang dikurasi oleh algoritma serta validasi eksternal. Babad, sebaliknya, bersifat menyeluruh/holistik. Ia memadukan sejarah pribadi, ingatan budaya, perjuangan politik, dan refleksi spiritual ke dalam satu narasi yang utuh. Jika media sosial memberi ganjaran pada hal-hal yang instan dan penuh sensasi, Babad justru mengutamakan ketulusan, kesabaran, kedalaman, dan perenungan.
Kekontrasan ini mengajak kita untuk merenung: bagaimana generasi digital saat ini dapat bergerak melampaui pamer diri yang singkat menuju narasi diri yang lebih bermakna? Dapatkah bercerita tentang diri menjadi bukan hanya sebuah pertunjukan, tetapi juga sarana menjaga nilai dan identitas? Dalam pengertian ini, Babad Diponegoro bukan hanya teks dari masa lalu, melainkan juga panduan untuk menavigasi cara bercerita di masa kini dan masa depan.


Kesimpulan: Maknanya Babad Diponegoro


Ditulis dalam pengasingan, Babad Diponegoro merupakan kesaksian pribadi sekaligus monumen budaya. Isinya menggabungkan sejarah, autobiografi, dan puisi, diartikulasikan melalui suara khas yang tetap terasa modern. Tujuan awalnya—melestarikan warisan bagi keturunannya—meluas hingga masa kini sebagai pengingat bagi seluruh bangsa Indonesia untuk merebut kembali narasi mereka dari kekuatan eksternal, baik kolonial maupun kapitalis.

Sebagai kerangka kerja untuk masa kini, Babad menegaskan identitas, kohesi sosial, integritas politik, dan keadilan ekonomi. Babad ini mengungkapkan kepribadian Diponegoro sebagai pemimpin yang memadukan humor, kerendahan hati, dan visi. Babad ini juga menawarkan kontras yang menarik dengan praktik narasi diri kontemporer, menantang kita untuk menceritakan kisah kita dengan autentik dan mendalam.

Pada akhirnya, Babad adalah percakapan lintas abad. Babad ini bertanya: sudahkah kita berbuat cukup untuk memahami diri kita sendiri? Dengan mendalami teks Diponegoro, masyarakat Indonesia dan dunia diingatkan bahwa identitas sejati tidak ditemukan dalam narasi yang dipaksakan atau mode sesaat dari ‘tren’, melainkan dalam nilai-nilai yang berakar pada sejarah, ingatan, dan keberanian untuk membayangkan masa depan yang bebas dari dominasi eksternal.





© 2025 TULISAN